Sabtu, 10 Mei 2014

melihat machu pichu indonesia` candi ratu boko´


Setelah sehari sebelumnya menikmati suasana lesehan malioboro serta aneka ragam kerajinan batinya, saat ini aku telah berada dicandi ratu boko. Agaknya rasa keingin tahuanku yang begitu besar telah membawaku menuju bukit boko .
 akupun bergegas menuju lokasi penjualan tiket dan tak lupa kupesan duatiket sekaligus. Satu untukku sendiri dan stunya untuk temanku si korea kafiran “ jenar”. Tiket sudah berada ditangan dan pendopo sisi selatan yang notabene adalah ruang pajang dari foto-foto candi menjadi sasaran pertama kami. pendopo ini memang bersbelahan dengan tempat pemesanan tiket dan juga hotel.sesampainya didalam pendopo ,kami disuguhi pemandangan landscape kota jogja, Candi Prambanan serta latar dari gunung Merapi, exsotis memang!. Tak luput mata kami dimanjakan oleh foto-foto yang ada pada ruang pajang, terutama satu foto yang bercerita seorang mbok-mbok paruh baya sedang menggendong kendil dengan latar gapura candi bentar serta domba-domba yang sedang merumput. Warna monochrome ala infrared pada foto itu menambah kesan serta dramatis daya pikat yang cukup dalam.


Seperti tempat wisata pada umumnya, untuk memudahkan pengunjung dalam mengunjungi bagian-bagian situs bersejarah ini pengelola memajang billboard peta kawasan candi dengan ukuran yang nyaman dipandang bagi pengguna kacamata alias mata minus. Tak jauh dari billboard peta, kami melihat kandang rusa pada sisi kanan jalan menuju bangunan utama candi. Agaknya pengelola cukup jeli untuk menyiasati kejenuhan anak-anak pada saat wisata hanya disuguhi bangunan kuno semata. Sperti kita ketahui, selain menjadi tempat wisata budaya bagi pencintanya tempat ini kerap menjadi tujuan wisata keluarga dan sarana pendidikan sejarah bagi anak-anak maupun remaja.Jalan yang menajak menuju bagunan utama candi lumayan menguras tenga, sehingga untuk beberapa saat kami berhenti dilokasi ini sembari menyalakan batang rokok sekedar mlepas kepenatan dalam perjalanan. Tak luput lensa kamera kami mengabadikan tingkah serta polah dari rusa-rusa yang berada dikandang.


 Batang-batang rokok telah habis kami hisap, dan tenaga kami sudah pulih untuk melanjutkan perjalanan menuju gapura candi yang merupakan komplek candi bagian tengah. Gapura ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu gapura luar dan gapura bagian dalam. Pada bagian ini masih ada bagian yang sedang direstorasi, tepatnya pada sisi kiri pada pintu masuk gapura, semntara pada gapura bagian dalam yang merupakan ikon dari candi banyak pengunjug mengabadikan momen dan bernarsis ria. Kusapu pandangan mataku pada hamparan rumput yang kemerahan akibat musim kemarau, nampak domba-domba serta kambing jawa dari penduduk yang sedang merumput dengan asyiknya dan tentunya membuat kami tergelitik gatal untuk mengabadikan momen tersebut. Pada sisi kiri dari gapura bagian dalam nampak sebuah jalan menanajak menuju kolam serta gardu pandang pada lereng bukit dengan pohon-pohon yang nampak meranggas sebagai pembatasnya. Di sisi kanan dari gapura bagian dalam tak kalah menarik, kita akan menemui bangunan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran. Candi itu berbentuk bujur sangkar dan memiliki 2 teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk pembakaran jenasah. Selain kedua candi itu, sebuah batu berumpak dan kolam akan ditemui kemudian bila anda berjalan kurang lebih 10 meter dari Candi Pembakaran.

Pada bagian candi yang lebih dalam, tepatnya dibagian tenggara sisi kompkes cagar budaya ini kita akan melihat sumur-sumur kecil yang masih berair. sumur-sumur ini nampak berwarna hijau, kontras dengan warna lantai candi yang berarna hitam kelam dimakan usia. Penduduk sekitar candi mengenalnya dengan nama Amerta Mentana, secara harfiah memiliki arti ‘Air suci yang diberi mantra’. Air dari sumur tersebut dipercaya oleh penduduk membawa keberuntungan. Upacara Tawur Agung Agama Hindu juga menggunakan air dari sumur tersebut sehari sebelum hari raya Nyepi. Penggunaan air dalam upacara diyakini dapat mendukung tujuannya, yaitu untuk memurnikan diri kembali serta mengembalikan bumi dan isinya pada harmoni awalnya.


Hiruk pikuk para model dan suara instruksi fotografer terdengar riuh rendah pada sebelah pamandian. sementara blitz-blitz berpendar, keelokan sang model terekspose dengan indah hanya saja kurang pantas rasanya bagian ini saya tampilkan disini. Sisi sebelah kiri dari tempat para model dan fotografer yang sedang berkasi juga tampak menarik untuk ditelusuri, pada bagian ini nampak reruntuhan candi yang begitu kental nuansa retro serta vintagenya. Detail teracota dan puing-puing batu dari bangunan yang nampak tua menggiring imaginasi ke selatan benua amerika, Peru tepatnya. Kontur letaknya yang berada diatas bukit serta fungsi bangunan dari Candi Ratu Boko ini sekilas nampak mirip dengan machu pichu yang berada di Negara Peru yang berupa komplek istana yang memiliki kuil
 Sementara saya asik dengan lamunan saya tentang Machu Phicu, sahabat saya terlihat asik dengan kamera sakunya, sibuk mengabadikan kegiatan warga lokal yang memang pemukiman mereka berdekatan dengan komplek cagar budaya ini.

Tak terasa waktu telah beranjak sore. Semburat merah terlihat mewarnai awan di ufuk barat sisi candi. Gradasi warna yang begitu sempurna ini tak luput dari bidikan mata lensa kami. Akan tetapi petualangan kami di candi ini terasa masih kurang akibat kunjungan kami yang terlalu siang. Bagian sisi sebelah timur yang berupa goa belum kami susuri dan tidak sempat kami dokumentasikan. Dalam hati terucap ‘esok hari kami akan kembali untuk melengkapinya’. Sungguh sebuah pengalaman langka bisa berpetualang dengan sahabatku di Candi Ratu Boko machu Pichu dari Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar